Travelling



Britain Untuk Muslim Traveller? Mengapa Tidak?


Ada rasa galau yang menelusup ketika saya harus berangkat ke London. Ini perjalanan saya pertama ke Eropa. Bayangan-bayangan perbedaan budaya silih berganti mengganggu saya. Bagaimana makanannya? Bagaimana orang-orangnya? Bagaimana saya akan menjalankan salat? Bagaimana pandangan mereka tentang wanita berhijab? Kerisauan itu nyaris menutupi bayangan keindahan negara Ratu Elizabeth ini.
Begitu menjejakkan kaki di Heathrow International Airport, kegalauan saya pelan-pelan mulai pudar. Saya merasakan pelayanan yang ramah dari semua petugas atau orang-orang yang saya temui. Secara nonverbal pun, saya tidak merasakan adanya pesan-pesan yang meremehkan atau sejenisnya.
London Tower Bridge
 Selanjutnya, kegalauan yang lain pun bergururan seperti daun-daun maple yang jatuh di awal musim gugur itu.

1.    Wanita berhijab
Satu hal yang mengagetkan saya adalah begitu banyaknya wanita berhijab di kota London. Setiap menaiki kereta underground atau bis, ada saja wanita berhijab yang saya lihat. Dengan demikian, pemandangan wanita berhijab menjadi sesuatu yang biasa. Dari wajah dan appereance-nya, tampaknya sebagian besar mereka berasal dari Timur Tengah.
 Saya dan teman saya yang berhijab pun tetap merasa nyaman berjalan-jalan di London dan Oxford, kota lainnya yang kami kunjungi. Beberapa kali kami melihat wanita berhijab yang bekerja di ruang publik.

Cheers....!


2.     Makanan
Dengan komunitas muslim yang cukup besar, maka dengan sendirinya mudah menemukan makanan halal. Umumnya menu yang disediakan adalah menu Timur Tengah seperti Nasi Kebuli, Kari dan Kebab. Makanan lain yang populer adalah fish and chip yakni kentang goreng dan ikan yang digoreng dalam balutan tepung yang gurih. Selain halal, yang juga penting adalah...nasi. Yes! Bayangan saya sebelumnya, di Eropa hanya akan bertemu dengan roti saja.
Fish and Chip yang crunchy dan segar
Restoran-restoran halal ini begitu mudah dijumpai sehingga saya tidak perlu bertanya terlebih dahulu pada  google untuk menemukannya.
Bagaimana dengan harga? Lumayan terjangkau, sekitar £7 sampai dengan £10 (sekitar 150 ribuan). Tentu saja jangan membandingkan harga makanan di sini dengan di tanah air. Ini London, bukan Jogja.
Masalah harga ini bisa kita tanyakan terlebih dahulu sebelum memesan makanan. Di dekat kasir, biasanya ada papan menu dan harga seperti restoran fast food di Indonesia. Kita bisa bertanya dulu paket dan harga yang ada. Tidak perlu malu atau gengsi, apalagi kita mungkin akan membeli per satuan, tidak paketan.
O ya, ada satu hal yang perlu saya tambahkan terkait dengan makanan ini. Semua makanan yang kita pesan memiliki porsi besar. Memang makanan ini utamanya ditujukan untuk orang-orang timur Tengah yang membutuhkan porsi jumbo. Bagi orang Indonesia, porsi ini terlalu banyak untuk dimakan sendiri. Kita bisa berbagi dengan teman, sehingga jatuhnya lebih murah.
Ketika kita berbagi makanan, tampaknya penjaga restoran juga paham kok... (kayaknya sih.. hehe). Buktinya mereka dengan ramah memberikan piring kosong dan sendok bersih. Tentu akan lebih mudah berbagi makanan kalau kita  membeli dengan take away. 
Di Restoran Indonesia Bernuansa Bali

Pada suatu siang, seusai jalan-jalan di National Gallery di Trafalgar Square kami merasa lapar. Lalu kami melangkahkan kaki ke Shaftesbury Avenue, di mana terdapat restoran Indonesia terkenal. Sesaat kemudian, nasi goreng dan rendang yang sudah kami rindukan segera tandas dari piring-piring kami!





3.      Masjid
Interaksi dengan komunitas muslim secara intens menyebabkan warga London tahu mengenai kewajiban salat bagi muslim. Berikut ini beberapa pengalaman menarik kami mengenai salat.
Di London, kami tinggal di hostel, yang seperti biasa, didesain sangat kompak sehingga tidak ada area untuk salat.  Saya minta izin pada petugas untuk melaksanakan salat di living room yang lumayan luas. Bukan hanya mengizinkan, mereka bahkan meminjamkan kami sajadah!
Saat kami mengunjungi sebuah kampus di daerah Kensington, staf menunjukkan sebuah ruangan yang bisa digunakan untuk salat. Ruangan itu bersih dan nyaman.
Lalu pengalaman yang lain, ketika kami selesai berekreasi di London Eye dan menyusuri sungai Thames, kami mencari tempat salat. Karena kebingungan, kami bertanya pada petugas security. Dengan sigap, ia akan mengantarkan kami menuju sebuah tempat di gedung di dekat Bianglala raksasa itu. Tapi karena sudah kecapaian, kami bertanya apakah boleh salat di taman. Jawabannya,”Sure, of course..!”. Lalu jadilah kami berjamaah di sebuah sudut taman, di atas empuknya rumput Jubilee Gardens. Saat salat, burung-burung dan tupai-tupai berseliweran di sekitar kami. Sungguh pengalaman yang sulit untuk dilupakan!
 Saat hari Jumat tiba, kami harus mencari masjid untuk salat Jumat. Pilihan kami adalah The London Central Mosque and Islamic Cultural Centre (ICC) atau biasa disebut sebagai Masjid Regent's Park, sesuai dengan tempat di mana masjid itu berada. Kawasan ini merupakan daerah prestisius di kota London.
Masjid dari Regents Park

Jamaah memadati masjid ini menjelang salat Jumat. Dengan sebagian besar wajah Timur Tengah, atmosfirnya mengingatkan saya pada masjid-masjid di Arab Saudi. Khutbah disampaikan dalam dua bahasa: Inggris dan Arab. Untuk sesaat, saya seperti sedang melaksanakan ibadah Umroh di Mekah!
Bagian dalam Masjid

  Dengan semua pengalaman di atas, amat wajar jika saya ingin mengunjungi negara ini lagi. Saya pun menyampaikan kepada teman-teman bahwa negara ini amat bersahabat untuk muslim traveller. Saya tahu persis banyak di antara mereka yang masih ragu untuk pergi ke Inggris karena khawatir dengan bayangan-bayangan buruk mereka sendiri.

Pergilah sendiri dan buktikan.
Seeing is believing!

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Cantiknya Lima Kampus Terkemuka di Jogja

Outdoor Wedding Party Untuk Kamu Nature Lover nan Romantis